Bagi kebanyakan remaja saat ini, pacaran telah
dijadikan sebagai tujuan hidup atau semacam cita-cita. Memiliki pacar
ataupun menjadi pacar seseorang dianggap sebagai sebuah status yang
membanggakan, sehingga tidak sedikit remaja yang merasa malu apabila
belum memiliki pacar. Padahal, yang dimaksud dengan berpacaran tidaklah
sesederhana itu. Pacaran merupakan sebuah tahap di mana kita dan
pasangan belajar untuk lebih saling mengenal, sebelum nantinya masuk ke
tahap yang lebih jauh, yaitu pernikahan. Pacaran itu sendiri merupakan
sebuah proses. Kurangnya pemahaman akan hal inilah yang menyebabkan
pacaran kita kerap putus di tengah jalan. Seperti apa sih proses yang
dimaksud?
Berikut adalah penjelasan dari Pdt. Yakub Susabda
tentang proses pacaran yang benar, yang kami kutip dari buku beliau yang
berjudul "Pastoral Konseling".
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love"
"Subjective love" sebenarnya tidak berbeda dari manipulative love,
yaitu "kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulasi orang yang
menerimanya". Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan kemauan dan tugas
dari si pemberi, dan tidak memperhitungkan akan apa yang sebenarnya
dibutuhkan oleh si penerima. Sesuai dengan "sinful nature"nya, setiap
anak kecil telah belajar mengembangkan "subjective love". Dan,
"subjective love" ini tidak dapat menjadi dasar pernikahan. Pacaran
merupakan saat yang tepat untuk mematikan "sinful nature" tersebut dan
mengubah kecenderungan "subjective love" menjadi "objective love", yaitu
memberi sesuai dengan apa yang baik yang betul-betul dibutuhkan si
penerima.
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love"
"Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous", yaitu
cemburu. Padahal "envious" memunyai pengertian yang berbeda. "Envious"
adalah rasa cemburu yang negatif, yang ingin mengambil dan merebut apa
yang tidak menjadi haknya. Sedangkan "jealous" adalah rasa cemburu yang
positif, yang menuntut apa yang memang menjadi hak dan miliknya. Oleh
sebab itu, tidaklah mengherankan kalau Alkitab sering menyaksikan Allah
sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu. Israel adalah milik-Nya,
umat tebusan-Nya. Kalau Israel menyembah berhala atau lebih memercayai
bangsa-bangsa kafir sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan merebut
Israel kembali kepada-Nya. Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi.
Pacaran pemuda-pemudi Kristen harus ditandai dengan "jealous love".
Mereka tidak boleh menuntut "sesuatu" yang bukan atau belum menjadi
haknya (seperti: hubungan seksual, wewenang mengatur kehidupannya, dan
sebagainya). Tetapi, mereka harus menuntut apa yang memang menjadi
haknya, seperti kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah
dalam Tuhan Yesus, dan sebagainya.
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love"
"Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam
alam mimpi yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa "kehidupan
ini manis semata-mata". Pemuda-pemudi yang berpacaran biasanya terjerat
ke dalam "romantic love". Mereka semata-mata menikmati hidup
sepuas-puasnya tanpa mencoba mempertanyakan realitasnya, misalnya
mengajukan pertanyaan berikut ini:
-
Apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
-
Apakah ia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh tanggung jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
-
Apakah realitas hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu rayu, rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center"
Pacaran orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity
center". Isi dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas
(nonton, jalan-jalan, duduk berdampingan, cari tempat rekreasi, dan
sebagainya), sehingga pacaran 10 tahun pun tetap merupakan dua pribadi
yang tidak saling mengenal. Sedangkan pacaran orang-orang Kristen
berbeda. Sekali lagi, orang-orang Kristen juga boleh berekreasi dan
sebagainya, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi
itu sendiri, tetapi pada dialog, yaitu interaksi antara dua pribadi
secara utuh sehingga hasilnya suatu pengenalan yang benar dan mendalam.
-
Pacaran Merupakan Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented"
Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan
melampiaskan kebutuhan seksual. Orientasi dari kedua insan tersebut
bukanlah pada hal-hal seksual, melainkan, sekali lagi, pada pengenalan
pribadi yang mendalam.
-
Imannya
Apakah sebagai orang Kristen ia betul-betul sudah dilahirkan kembali
(Yohanes 3:3), memunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7) lebih daripada
ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat-tempat yang tersembunyi
dari mata manusia sekalipun ia tetap takut berbuat dosa. Apakah ia
memunyai kehausan akan kebenaran Allah dan menjunjung tinggi hal-hal
rohani?
-
Kematangan Pribadinya
Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya
dengan cara yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang tua?
Apakah ia menghargai pendapat orang lain?
-
Temperamennya
Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat
menempatkan diri dalam lingkungan yang baru, bahkan sanggup membina
komunikasi dengan mereka? Apakah emosinya cukup stabil?
-
Tanggung Jawabnya
Apakah ia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung jawabnya, baik dalam studi, pekerjaan, uang, seks, dan sebagainya?
-
Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang tidak ia sukai.
-
Setiap kali bertemu, kami selalu mencari acara keluar atau kami ingin selalu bercumbuan saja.
-
Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut kebenaran yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
-
Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya, bahkan jalan pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dan sebagainya. (RM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar